TERNATE, DM – Di balik tembok RSUD Chasan Boesoirie yang megah, tersimpan luka lama yang belum juga sembuh. Bukan luka medis, melainkan luka kepercayaan — dari para tenaga kesehatan yang pernah berdiri di garda terdepan saat pandemi, namun hingga kini belum menerima hak mereka.
Rp4,1 miliar. Itulah angka yang kini jadi pusaran kisruh di rumah sakit terbesar di Maluku Utara itu. Dana jasa layanan Covid-19 senilai Rp2,4 miliar dan klaim BPJS sebesar Rp1,7 miliar menguap entah ke mana. Yang tersisa hanya saling lempar tanggung jawab, dan tentu saja—kekecewaan.
Dikutip dari liputan-malut.com, persoalan ini kembali menyeruak setelah Agung, yang kini menjabat Wakil Direktur Keuangan, mencoba membuka kembali lembaran kelam anggaran yang tak pernah jujur ini. Ia menyebut bahwa sejak pertama menjabat pada 2023, informasi yang ia terima simpang siur.
“Katanya uang jasa Covid masih ada di kas daerah. Tapi pas opname, kas kita hanya tersisa sekitar Rp50 juta,” ujarnya dengan nada getir.
Agung mengaku terkejut. Sebab, jika memang dana itu masih tersimpan, kenapa tidak pernah dibayarkan ke tenaga kesehatan? Kenapa pula tidak diakui sebagai utang oleh manajemen sebelumnya?
“Kalau diakui sebagai utang, itu bisa dimasukkan dalam anggaran tahun berikutnya. Tapi kenyataannya tidak ada pencatatan utang, dan lebih buruknya, tidak ada daftar penerima jasa yang bisa dijadikan dasar pencairan.”
Sementara itu, dana klaim BPJS senilai Rp1,7 miliar juga raib tanpa jejak. Agung menyarankan wartawan untuk menanyakan langsung ke mantan bendahara BLUD, Hilda, yang menjabat dari 2020 hingga 2023.
Masalah makin rumit saat Direktur RSUD, dr. Alwia Assagaf, memanggil dua sosok penting dalam pengelolaan keuangan kala itu: mantan Wadir Keuangan, Fatimah Abas, dan Bendahara Covid, Winarsih. Namun keterangan keduanya justru menambah kegelapan. Angka-angka yang mereka paparkan tak pernah mendekati nilai Rp2,4 miliar. Rincian belanja tak sesuai, dan penjelasan mereka tak menjawab pertanyaan paling penting: ke mana uang itu pergi?
“Ibu Direktur sudah melaporkan ke Inspektorat. Katanya sudah ada rekomendasi, tapi sampai hari ini kami belum tahu ke mana alurnya,” kata Agung.
Di sisi lain, para tenaga kesehatan yang dulu memakai APD berlapis, begadang di ruang isolasi, dan bahkan kehilangan keluarga sendiri karena virus, kini harus menyaksikan perjuangan mereka dibayar dengan ketidakjelasan.
Mereka bukan menuntut lebih, hanya menagih apa yang dijanjikan. Hak yang seharusnya mereka terima—bukan sebagai belas kasihan, tetapi sebagai balas jasa atas pengabdian yang kadang bahkan nyawa jadi taruhannya.
Namun sampai kini, tak ada yang bisa memastikan: apakah uang itu masih ada, sudah dipakai, atau sengaja disembunyikan di balik angka dan laporan fiktif?
Yang pasti, kisah ini menambah daftar kelam persoalan tata kelola RSUD Chasan Boesoirie. Dan di balik meja-meja rapat, laporan keuangan, serta dalih prosedural, ada luka tenaga kesehatan yang belum juga diobati.