SOFIFI, DimensiMedia – Di balik ketenangan ibu kota Provinsi Maluku Utara itu, tersimpan kegelisahan yang tak kunjung terjawab. Sofifi, yang berdiri di Pulau Halmahera, masih menunggu wujud nyata sebuah rumah sakit modern yang layak menjadi pusat rujukan kesehatan bagi lebih dari 800 ribu warganya.
Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, dengan nada tegas namun penuh harap, menyampaikan langsung kegundahan itu kepada Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Bayu Teja Muliawan, saat pertemuan bersama Komisi IX DPR RI di Hotel Bela, Ternate, Senin (11/8).
“RSUD Chasan Boesoerie di Ternate sudah tidak mungkin lagi dikembangkan. Lahannya habis, dan lokasinya rawan gempa. Sofifi punya lahan luas, penduduk lebih banyak, dan aman dari gempa. Tapi kami terhalang aturan dan keterbatasan anggaran,” ujarnya.
Sofifi: Ibu Kota Tanpa Anggaran Khusus
Meski secara geografis strategis dan aman, Sofifi terjebak dalam status administratif yang membelenggu. Letaknya berada di wilayah Kota Tidore Kepulauan (Tikep), yang sudah memiliki rumah sakit tipe B. Kondisi ini membuat Sofifi tak bisa masuk ke dalam Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) dan tak memiliki jalur anggaran khusus layaknya ibu kota provinsi definitif.
“Secara kebijakan anggaran, Sofifi ini sulit dibangun. Tidak ada kode wilayah sendiri. APBD provinsi pun terbatas. Kita masih punya 1.200 kilometer jalan yang harus dibangun, sementara kebutuhan lain juga menumpuk,” keluh Sherly.
Janji yang Gantung
Kisah perjuangan membangun RSU Sofifi ternyata bukan baru dimulai di masa kepemimpinan Sherly. Pada periode gubernur sebelumnya, Pemerintah Provinsi Maluku Utara bahkan telah meminjam ratusan miliar rupiah dari PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) untuk proyek ini. Namun, harapan itu pupus.
“Pinjaman seratusan miliar itu berhenti di 2023 karena proyek tidak selesai. Sekarang jadi menggantung, tidak jelas ujungnya,” ucapnya.
Harapan pada Pemerintah Pusat
Bagi Sherly, Sofifi adalah masa depan layanan kesehatan Maluku Utara. Kota ini tidak hanya pusat pemerintahan, tetapi juga titik tengah pelayanan publik bagi penduduk Halmahera yang mayoritas.
“Pusat rehabilitasi kanker seharusnya ada di Sofifi. Kami hanya butuh bantuan infrastrukturnya. Ini bukan sekadar soal bangunan, tapi soal nyawa dan pelayanan kesehatan yang layak,” tegasnya.
Suara Sherly bukan sekadar permintaan. Itu adalah jeritan ibu kota provinsi yang selama ini berdiri di antara status formal dan keterbatasan nyata. Sofifi masih menunggu, berharap langkah kaki dari pusat benar-benar membawa solusi, bukan sekadar janji.