Tidore, DM – Di depan Pengadilan Negeri Soasio, Rabu (13/8/2025), tak mampu meredam semangat puluhan orang yang berdiri memegang spanduk lusuh bertuliskan “Memperjuangkan Ruang Hidup Bukan Kriminal” dan “Cabut Izin Tambang Nikel PT Position Lawan Perusakan Lingkungan”. Di mata mereka, ini bukan sekadar tulisan. Ini adalah jeritan hati.
Di antara kerumunan, wajah-wajah lelah tampak menatap gedung pengadilan dengan penuh harap. Mereka menuntut satu hal: kebebasan untuk 11 warga Maba-Sangaji, Halmahera Timur, yang kini mendekam di balik jeruji besi. Bagi mereka, 11 orang ini bukan kriminal, tapi pejuang lingkungan—orang-orang yang berdiri di garis depan mempertahankan tanah dan hutan dari gempuran tambang nikel.
Aksi ini dikoordinir oleh Acil, bertepatan dengan agenda sidang kasus yang menjerat para pejuang itu. FPUD (Front Perjuangan Untuk Demokrasi) menegaskan bahwa penangkapan bermula dari aksi protes 16–18 Mei 2025, ketika warga menyampaikan penolakan terhadap kerusakan hutan akibat operasi PT Position. Protes yang bahkan dibalut ritual adat itu berakhir tragis—pada 19 Mei 2025, mereka justru diborgol.
“Bukan hanya ditangkap, mereka mengalami kekerasan saat penahanan,” klaim FPUD. Mereka juga menuding adanya pelecehan seksual terhadap massa aksi saat pembubaran protes sebelumnya. Tuduhan yang membuat suasana di depan PN Soasio siang itu semakin panas.
Bagi FPUD, hukum seharusnya melindungi, bukan menghukum mereka yang menjaga bumi. Mereka mengutip Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024, serta Pedoman Kejaksaan Nomor 8 Tahun 2022—yang pada intinya menegaskan bahwa pejuang lingkungan tidak bisa dipidana.
Teriakan-teriakan terus menggema. “Bebaskan tanpa syarat!” “Cabut izin PT Position!”—suara-suara itu memantul di dinding gedung pengadilan, seakan mencoba menembus ruang sidang. Bagi mereka, perjuangan ini bukan hanya soal membela 11 orang, tapi membela masa depan hutan, air, dan kehidupan yang bergantung padanya.
Di tengah arus modernisasi yang sering menelan kearifan lokal, 11 warga Maba-Sangaji kini menjadi simbol perlawanan. Mereka mungkin terkurung, tapi suara mereka bergema di jalanan, di spanduk, dan di dada setiap orang yang percaya bahwa bumi bukan untuk dijual.