Foto: tangkapan layar instagram
Nagekeo, NTT –Di balik pagar markas Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan 834/Waka Nga Mere, tersimpan luka yang belum kering. Luka itu bernama Prada Lucky Namo (23) — seorang prajurit muda yang datang dengan mimpi, namun pulang hanya sebagai nama yang diiringi air mata.
Lucky, demikian rekan-rekannya memanggil, adalah sosok yang dikenal ramah dan mudah bergaul. Namun, nasibnya berakhir tragis setelah dianiaya sesama prajurit di barak. Luka dalam tubuhnya—ginjal pecah, paru-paru bocor—menjadi saksi bisu betapa kekerasan itu nyata.
Yang membuat kasus ini kian menyayat hati adalah fakta terbaru: seorang perwira muda, komandan peletonnya sendiri, ikut menjadi tersangka.
Letnan Dua (Letda) berusia sekitar 24-25 tahun, lulusan Akademi Militer, yang seharusnya menjadi teladan dan pelindung, justru diduga membiarkan kekerasan itu terjadi. Bahkan, memberi ruang bagi bawahannya untuk melakukan penganiayaan.
“Iya, Danton,” ujar Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat, menegaskan bahwa sang komandan peleton termasuk dari 20 tersangka.
Dalam militer, seorang Danton bukan sekadar pemimpin pasukan. Ia adalah pembina, pengendali, dan pengawas moral 30-50 prajurit yang berada di bawah komandonya. Namun di kasus ini, peran itu runtuh.
Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, tak menutupi kekecewaannya. Baginya, seorang perwira muda seharusnya menjadi contoh yang berdiri di tengah prajurit, bukan sekadar memberi perintah dari kejauhan—apalagi ikut membiarkan tindakan keji.
“Komandan itu harus ada di barak, hidup bersama prajuritnya. Bukan malah membiarkan, atau ikut terlibat dalam kejahatan,” ujarnya, tegas.
Bukan hanya Lucky yang menjadi korban. Prajurit junior lain juga mengalami penganiayaan, meski mereka selamat. Hanya saja, nasib Lucky berbeda. Ia tak sempat pulih, tak sempat pulang membawa cerita, selain cerita pahit tentang kekerasan di tubuh sendiri.
Kini, kasus ini tak sekadar menjadi urusan hukum militer. Ia menjadi pengingat pahit tentang rapuhnya rasa aman di tempat yang seharusnya melindungi. Tentang betapa sebuah pangkat tidak otomatis menjamin jiwa kepemimpinan. Dan tentang bagaimana kehilangan seorang prajurit muda meninggalkan pertanyaan besar—di mana teladan itu kini berada?