TIDORE, DM– Tepat di hari Jum’at, udara di halaman Rutan Kelas IIB Soasio terasa berbeda. Suara langkah kaki dan tatapan haru mewarnai momen kebebasan delapan warga adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, yang akhirnya keluar dari balik jeruji setelah lima bulan mendekam.
Satu per satu mereka menapaki pintu gerbang rutan dengan wajah lega—Umar Manado, Salasa Muhamad, Jamaludin Badi, Yasir Hi Samad, Sahrudin Awat, Julkadri Husen, Hamim Djamal, dan Sahil Abubakar.
Bagi mereka, kebebasan ini bukan sekadar akhir hukuman, tapi juga simbol dari perjuangan panjang masyarakat adat dalam mempertahankan hak atas tanah dan lingkungan mereka.
Namun perjuangan itu juga meninggalkan luka. Vonis lima bulan penjara dijatuhkan setelah aksi mereka dianggap menghalangi kegiatan pertambangan PT Position, perusahaan yang memegang izin usaha pertambangan di wilayah adat Maba Sangaji.
Tiga rekan mereka — Alauddin Salamuddin, Indrasani Ilham, dan Nahrawi Salamuddin — belum beruntung. Mereka masih harus bertahan dua bulan lagi di balik jeruji karena pidana tambahan atas dugaan perampasan kunci kendaraan milik perusahaan.
Kepala Kanwil Ditjen Pemasyarakatan Maluku Utara, Sa’id Mahdar, yang turut hadir dalam pembebasan itu, mengingatkan pentingnya menempuh jalur damai dalam memperjuangkan hak-hak rakyat.
“Perjuangan untuk kesejahteraan tidak salah. Tapi jangan melalui kekerasan. Kekerasan hanya akan melahirkan kerugian dan kehancuran,” ujarnya.
Bagi warga Maba Sangaji, perjalanan mereka belum usai. Di balik kebebasan hari itu, ada tekad baru untuk memperjuangkan keadilan dengan cara yang lebih bijak.
“Kami harap pengalaman ini menjadi pelajaran. Mereka bisa kembali ke masyarakat dan membawa perubahan,” tambah Sa’id.
Sore menjelang. Delapan warga itu melangkah meninggalkan Rutan Soasio. Di wajah mereka, ada lelah, ada luka, tapi juga ada harapan — bahwa perjuangan untuk tanah leluhur tak akan pernah padam.