ilustrasi by dimensimedia
Sula, DM– Telaga Kabau memantulkan cahaya matahari dengan tenang, seperti biasa. Riak airnya lembut, seolah tak menyimpan ancaman. Namun di balik ketenangan itu, maut sedang mengintai.
Nurbadi Panikfat (60), warga Desa Kabau Pantai, berjalan pelan menuju kamar kecil di tepi telaga, Minggu (10/8/2025) sekitar pukul 06.10 WIT. Hanya beberapa langkah dari rumahnya, jarak yang sudah ratusan kali ia tempuh seumur hidup. Tapi kali ini, ia tidak kembali.
Hanya sepuluh menit setelah ia pergi, teriakan memecah kesunyian. Warga berhamburan keluar. Di tepi telaga, yang mereka lihat hanyalah buaya besar menghilang di balik permukaan air, meninggalkan lingkaran riak yang perlahan mereda—dan ketiadaan yang menyesakkan.
“Ketika diperiksa, korban sudah tidak ada di lokasi. Hanya terlihat buaya yang bergerak masuk ke air,” ujar Danpos Unit Siaga SAR Sanana, Rizki Rifandi, menahan nada berat dalam suaranya.
Warga spontan melakukan pencarian dengan perahu kayu seadanya, namun hasilnya nihil. Laporan resmi pun dilayangkan ke Unit Siaga SAR Sanana. Pukul 14.10 WIT, tim rescue berangkat membawa rubber boat, mesin outboard, dan perlengkapan pencarian.
Operasi gabungan melibatkan Unit Siaga SAR Sanana, Polsek Sulabesi Barat, Babinsa Desa Kabau, masyarakat, dan keluarga korban. Hingga malam, pencarian masih dilakukan—dengan setiap detik yang berlalu menipiskan harapan.
Tragedi ini bukan yang pertama. Serangan buaya di Maluku Utara telah menelan korban berkali-kali, namun sistem peringatan dan pengamanan di wilayah rawan nyaris tidak ada. Telaga Kabau, misalnya, tidak memiliki papan peringatan, pagar pembatas, atau upaya mitigasi yang memadai.
Predator air tawar ini terus berkeliaran di perairan yang setiap hari digunakan warga untuk mandi, mencuci, atau sekadar mengambil air. Pertanyaan besar pun mengapung di permukaan: sampai kapan nyawa warga menjadi taruhan di perairan yang mereka anggap bagian dari rumah sendiri?
Malam ini, Telaga Kabau kembali sunyi. Tapi di dalam air, mungkin sang predator masih berputar di lingkar yang sama—menunggu tanpa pernah diadili. Dan di tepi telaga, keluarga Nurbadi hanya bisa menatap gelap, berharap esok ada kabar, meski mereka tahu kabar itu tak akan mengembalikan yang sudah pergi.