SANANA, DM– Nurbadi Panikfat (60), warga Desa Kabau, Kecamatan Sulabesi Barat, menghabiskan detik-detik terakhir hidupnya—bukan karena usia, tapi karena gigitan mematikan dari sang penguasa air: buaya.
Senin (11/8), sekitar pukul 01.00 WIT, Tim SAR gabungan menemukan tubuh Nurbadi. Tapi yang kembali ke pelukan keluarga bukanlah sosok utuh sang nenek, melainkan potongan tubuh yang menyayat hati: pinggul, kaki kiri, dan kaki kanan yang hanya sebatas lutut. Sebagian tubuhnya telah lenyap di telaga yang selama ini menjadi sumber kehidupan sekaligus ancaman tersembunyi.
“Bagian tubuh korban langsung dievakuasi dan diserahkan ke pihak keluarga,” ujar Danpos Unit Siaga SAR Sanana, Rizki Rifandi, dengan suara yang terdengar menahan getir.
Telaga yang Menelan Nyawa
Pencarian hari kedua dimulai pukul 07.25 WIT. Dua tim Search and Rescue Unit (SRU) dikerahkan, menyisir setiap sudut pesisir telaga yang diselimuti kabut pagi. Namun, harapan menemukan bagian tubuh lainnya terhenti di hadapan kenyataan pahit: beberapa ekor buaya muncul ke permukaan, mengintai, dan sesekali menimbulkan gelombang kecil—seperti pengingat bahwa telaga itu adalah wilayah kekuasaan mereka.
Situasi semakin berbahaya. Setiap langkah perahu karet, setiap ayunan dayung, terasa seperti perjudian nyawa. Hingga sore hari, pencarian berakhir tanpa hasil tambahan.
Keputusan yang Berat
Pukul 16.15 WIT, evaluasi dilakukan. Semua pihak sepakat: operasi harus dihentikan. Air telaga yang keruh, gerakan buaya yang tak bisa diprediksi, dan risiko yang mengancam tim menjadi alasan. Keputusan ini diterima keluarga Nurbadi dengan ikhlas, meski air mata tak bisa disembunyikan.
“Kami berterima kasih kepada semua tim yang telah berusaha,” ucap perwakilan keluarga dengan suara bergetar.
Bagi warga Desa Kabau, tragedi ini bukan sekadar kabar duka. Ini adalah pengingat bahwa alam menyimpan wajah ganda—memberi kehidupan, namun juga bisa merenggutnya tanpa peringatan.