SOFIFI, DM- Di sebuah ruangan kerja yang tak luas namun penuh tekanan, Wakil Gubernur Maluku Utara, Sarbin Sehe, duduk memimpin rapat terbatas pada Senin siang (4/8/2025). Rapat itu bukan sekadar rutinitas administratif. Di balik tumpukan berkas dan presentasi pejabat, ada satu hal yang mengemuka—keberanian memangkas birokrasi yang dianggap terlalu besar, lamban, dan mahal.
“Kita ini pelayan rakyat, bukan pemilik kursi-kursi kosong yang mahal dan tak berguna,” kata Sarbin, membuka rapat dengan nada tegas. Kalimat itu menggantung di udara, menyayat sunyi di antara wajah-wajah yang hadir—para asisten dan staf ahli gubernur yang tahu, perubahan tengah mengetuk pintu.
Selama bertahun-tahun, struktur pemerintahan di Maluku Utara menjelma seperti tubuh besar yang berat digerakkan. Banyak jabatan, regulasi berlapis, koordinasi tumpang tindih, hingga biaya operasional yang menembus batas rasional. Tapi di balik semua itu, pelayanan kepada rakyat tak kunjung cepat, dan kinerja aparatur terus dipertanyakan.
“Struktur boleh ada, tapi kalau tidak berdampak langsung pada rakyat, ya harus dikaji ulang,” ucap Sarbin tajam, menatap para pejabat di sekelilingnya.
🟩 Antara Regulasi dan Relevansi
Para staf ahli dan asisten yang hadir tidak tinggal diam. Mereka mengemukakan dasar hukum keberadaan mereka.
- Abdullah Assagaf, staf ahli bidang ekonomi, menunjuk Pergub Nomor 36 Tahun 2023 sebagai payung tugasnya.
- Nurlela Muhammad, staf ahli bidang SDM, bahkan mengklaim mengoordinasi 16 OPD.
- Sementara Hairia, staf ahli hukum, membawa Perda Nomor 5 Tahun 2015 sebagai legitimasi jabatannya.
Namun bagi Sarbin, ini bukan soal legalitas. Ini soal urgensi dan dampak. Perampingan bukan serangan, tetapi koreksi. Ia ingin memangkas bukan hanya jumlah, tapi juga kebiasaan lama yang menjadikan birokrasi ladang aman, bukan ladang kerja.
🟥 Menantang Kenyamanan Sistem
Sebagai birokrat senior, Sarbin tahu bahwa mengubah struktur sama halnya dengan menyentuh kenyamanan. Tapi ia tak ragu. Rencana perampingan bahkan sudah masuk meja DPRD.
“Perampingan dipastikan terjadi. Kita tidak bisa lanjut dengan sistem yang gemuk tapi loyo,” katanya.
Langkah ini tak hanya berdampak pada efisiensi anggaran, tapi juga mengirim pesan bahwa era birokrasi nyaman tanpa kinerja sudah selesai. Bahwa setiap posisi harus dipertanggungjawabkan dengan manfaat nyata untuk rakyat.
🟦 Rakyat Menunggu Buktinya
Di luar gedung, rakyat tetap menunggu. Mereka tidak peduli soal Perda atau Pergub. Mereka hanya ingin pelayanan yang cepat, pejabat yang bisa diakses, dan pemerintahan yang hadir saat dibutuhkan.
Mereka tidak ingin melihat anggaran habis untuk jabatan yang tak jelas. Mereka ingin hasil, bukan gelar struktural.
Sarbin tahu ini. Dan kini ia berdiri di tengah sistem yang harus ia bedah—dengan risiko, dengan keberanian, dan dengan satu tujuan: menjadikan birokrasi Maluku Utara ramping, efisien, dan benar-benar bekerja untuk rakyat.