Maharani Carolin S. (Kuasa Hukum 11 Warga Maba
TIDORE, DM-Suasana pagi di Pengadilan Negeri Soasio, Tidore, Rabu (6/8/2025), terasa janggal. Ruang sidang yang mestinya menjadi panggung awal untuk pembacaan dakwaan atas 11 warga Maba-Sangaji yang ditetapkan sebagai terdakwa, justru sunyi. Tak ada hakim. Tak ada jaksa. Tak ada proses hukum seperti yang diharapkan.
Yang ada hanya penasehat hukum terdakwa yang kebingungan—dan kecewa.
Sidang pembacaan dakwaan perkara nomor 109/Pid.B/2025/PN Sos, yang sedianya digelar secara terbuka di ruang sidang, tiba-tiba dipindahkan ke Rutan Kelas IIB Soasio dan dilangsungkan secara virtual. Langkah ini bukan hanya mengejutkan, tapi juga memunculkan sederet pertanyaan tajam soal transparansi dan akuntabilitas hukum.
“Kami Tidak Diberi Tahu”
Maharani Karolina, kuasa hukum dari para terdakwa, menyatakan keterkejutannya ketika tiba di pengadilan dan mendapati ruang sidang kosong.
“Ketika kami sampai, ternyata majelis hakim tidak ada. Mereka ternyata berada di Haltim untuk sidang lain. Tapi yang jadi pertanyaan besar, kenapa sidang ini tetap dijadwalkan hari ini padahal hakim tidak ada di tempat?” ujar Maharani dengan nada kecewa.
Menurutnya, pihak pengadilan tidak pernah memberikan pemberitahuan bahwa sidang akan dilaksanakan secara online dari dalam rutan. Hal ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip keterbukaan dan keadilan dalam proses peradilan.
“Kalau sidang online dan digelar di rutan, tempatnya sangat tidak memadai. Tidak ada ruang sidang yang layak, dan bahkan publik tidak bisa menyaksikan secara bebas. Bagaimana bisa sidang yang seharusnya terbuka, malah digelar di tempat yang terbatas?” tegasnya.
Bertentangan dengan Prinsip Terbuka untuk Umum
Dalam sistem peradilan Indonesia, sidang pembacaan dakwaan adalah sidang terbuka untuk umum. Namun, ketika sidang dipindahkan ke rutan, akses publik dibatasi oleh aturan internal lembaga pemasyarakatan. Tidak semua orang boleh masuk. Tidak boleh membawa kamera. Dan tentu saja—tak ada kebebasan pers.
“Ini bukan soal teknis semata. Ini menyangkut hak-hak dasar para terdakwa untuk diadili secara terbuka dan adil,” tambah Maharani.
Ia menyampaikan bahwa pihaknya berencana untuk mengajukan keberatan resmi ke Pengadilan Tinggi atas keputusan pelaksanaan sidang secara virtual. Ia juga tak menampik ada dugaan bahwa ada hal yang disembunyikan dari publik.
“Kami curiga ada apa sebenarnya dengan majelis hakim. Kenapa mereka tidak ada, tapi jadwal sidang tetap dipaksakan?” ucapnya tajam.
Jaksa dan Hakim Dianggap Abaikan Kuasa Hukum
Muhammad Yanto Swarez, pengacara lain dari tim penasehat hukum, menilai pelaksanaan sidang ini sebagai bentuk tindakan tidak proporsional.
“Jaksa seharusnya tahu bahwa para terdakwa ini sudah memiliki kuasa hukum sejak tahap penyidikan di Polda. Tapi kami tidak diberitahu soal sidang ini. Harusnya ini jadi perhatian serius,” tegasnya.
Yanto juga menyoroti hak keluarga terdakwa yang tidak dapat menyaksikan langsung proses hukum. Ini dinilainya sebagai bentuk pembatasan hak yang menciderai prinsip due process of law.
Bukan Sekadar Sidang Biasa
Kasus 11 warga Maba-Sangaji bukanlah kasus ringan. Di balik meja persidangan ada narasi panjang tentang konflik sosial, penangkapan, dan pencarian keadilan. Maka, ketika sidang perdana digelar diam-diam di balik dinding penjara, wajar jika publik dan kuasa hukum bertanya: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari proses hukum yang tertutup ini?