Ternate, DM— Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ansor Kota Ternate menegaskan bahwa tudingan terhadap pejabat publik yang ikut berkompetisi dalam organisasi seperti HIPMI dan KONI tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Pernyataan itu disampaikan menyusul opini publik yang menuding Wakil Gubernur Maluku Utara dan Wakil Bupati Pulau Morotai melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah karena terlibat dalam kepengurusan organisasi tersebut.
Menurut LBH Ansor, tudingan itu menunjukkan salah tafsir dan gagal paham terhadap norma hukum yang sebenarnya.
Salah Tafsir Pasal 76 UU 23/2014
Ketua LBH Ansor Kota Ternate, Zulfikran Bailussy, SH, yang juga praktisi hukum, menilai bahwa penulis opini publik yang menyebut pelanggaran tersebut keliru menafsirkan Pasal 76 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
“Pasal itu tidak melarang pejabat publik memimpin organisasi kemasyarakatan atau profesi. Larangan hanya berlaku terhadap rangkap jabatan di badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta,” jelas Zulfikran.
“HIPMI dan KONI bukan badan usaha, tetapi organisasi sosial dan profesi yang berbadan hukum perkumpulan. Jadi menuduh pejabat publik melanggar hukum karena aktif di HIPMI itu bentuk gagal paham hukum.”
HIPMI dan KONI Bukan Badan Usaha
Zulfikran menegaskan bahwa baik HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) maupun KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) tidak menjalankan kegiatan bisnis untuk keuntungan anggota, melainkan bersifat non-profit.
Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) HIPMI Pasal 6 disebutkan bahwa organisasi ini merupakan:
“Organisasi profesi pengusaha muda yang independen, non-pemerintah, dan tidak berafiliasi dengan partai politik.”
Selain itu, Pedoman Organisasi (PO) HIPMI hanya melarang keanggotaan bagi ASN, TNI, dan POLRI.
“Artinya, kepala daerah atau wakil kepala daerah tetap dapat menjadi anggota atau pengurus HIPMI selama mereka merupakan pelaku usaha aktif,” ujar Zulfikran.
Ia menambahkan, prinsip independensi HIPMI tidak berarti menutup partisipasi pejabat publik yang berjiwa wirausaha.
“Yang dimaksud independen adalah tidak menjadi alat kekuasaan politik, bukan melarang pejabat publik yang punya usaha aktif untuk bergabung. Menyamakan HIPMI dengan badan usaha adalah kekeliruan yang mendasar,” tegasnya.
Larangan Rangkap Jabatan Harus Proporsional
LBH Ansor juga mengingatkan agar tafsir terhadap larangan rangkap jabatan dilihat secara proporsional dan kontekstual.
Menurut Zulfikran, hukum tidak bisa dibaca “setengah-setengah”.
“Sebelum menyebut seseorang melanggar hukum, pahami dulu konteks norma yang diatur. Pejabat publik tidak boleh rangkap jabatan yang bersifat eksekutif-bisnis, tapi boleh berorganisasi sosial selama tidak menyalahgunakan jabatan atau fasilitas negara,” ujarnya.
Ia menegaskan, opini hukum yang dibangun tanpa pemahaman menyeluruh justru berpotensi menyesatkan publik dan merusak citra hukum itu sendiri.
“Kritik boleh, tapi jangan menyesatkan. Jika ingin menguji tafsir hukum, gunakan mekanisme resmi, bukan serangan opini,” tambahnya.
Rio C. Pawane dan Sarbin Sehe Sah Secara Hukum
Menyoal polemik keterlibatan Rio C. Pawane, Wakil Bupati Pulau Morotai yang maju sebagai calon Ketua HIPMI Maluku Utara, dan Sarbin Sehe yang mencalonkan diri sebagai Ketua KONI Maluku Utara, LBH Ansor menilai keduanya tidak melanggar ketentuan hukum maupun aturan organisasi.
“Rio Pawane adalah pelaku usaha dan anggota aktif HIPMI. Tidak ada satu pun pasal dalam UU maupun AD/ART HIPMI yang melarang beliau mencalonkan diri. Menuduhnya melanggar hukum tanpa dasar adalah bentuk pembunuhan karakter,” tegas Zulfikran.
Stop Politisasi Hukum
LBH Ansor Kota Ternate mengingatkan semua pihak untuk tidak menyeret hukum ke dalam kepentingan politik praktis.
“Kami mengajak seluruh pihak untuk berhenti menjadikan hukum sebagai alat serangan politik. Mari kembalikan perdebatan ini ke ruang rasional dan normatif, bukan ruang emosi dan kepentingan,” tutup Zulfikran Bailussy, SH.
Pernyataan LBH Ansor ini sekaligus menjadi peringatan moral dan hukum di tengah meningkatnya tensi menjelang proses organisasi seperti HIPMI dan KONI. Bahwa hukum, kata Zulfikran, harus dibaca dengan nalar, bukan dengan amarah.
Karena salah tafsir hukum, pada akhirnya, bisa lebih berbahaya dari pelanggaran hukum itu sendiri.