NTT, DM– Di ruang ICU RSUD Aeramo, Nusa Tenggara Timur, sunyi tak lagi terasa damai. Hanya suara mesin monitor yang pelan mengiringi detak-detak terakhir Prada Lucky Chepril Saputra Namo (23), prajurit muda TNI AD yang meninggal dunia pada Rabu (6/8/2025), setelah tiga hari bertarung nyawa akibat luka-luka yang diduga kuat akibat penganiayaan seniornya di barak militer.
Sang ayah, Serma Cristian Namo, berdiri mematung di sisi tempat tidur anaknya. Wajahnya mengeras, matanya sembab, tangannya menggenggam erat seragam dinasnya sendiri—seakan berusaha menahan badai emosi yang siap meledak.
“Anak saya sudah tidak ada. Saya kejar pelakunya ke mana pun. Ini bukan soal institusi lagi—ini soal nyawa,” katanya sambil menggigil, tangis tertahan tak kuasa disembunyikan.
“Dia Bilang Dipukuli, Sebelum Menghembuskan Napas”
Dari informasi yang dihimpun, Prada Lucky sempat memberi pengakuan terakhir kepada tenaga medis di ruang radiologi: ia dipukuli oleh seniornya di barak. Itu adalah pernyataan terakhir yang ia sampaikan sebelum kondisinya semakin memburuk.
“Dia bilang ke dokter, dia dipukul… oleh senior. Setelah itu dia makin drop,” ungkap seorang perawat yang enggan disebutkan namanya.
Kematian Lucky bukan hanya menyisakan duka mendalam bagi keluarga, tetapi juga mencuatkan kembali luka lama—tentang kekerasan dalam tubuh militer yang selama ini tertutup rapat di balik dinding disiplin dan hierarki.
Cristian Namo, yang juga seorang prajurit aktif, tak kuasa menahan gejolak batinnya. Duka atas kepergian anaknya bercampur dengan amarah yang menggelegak.
“Saya ingin mereka semua yang menyiksa anak saya dipecat dan dihukum mati. Jangan ada belas kasihan. Jangan ada perlindungan. Ini menyangkut nyawa seorang anak bangsa!”
Nyawa Dibalas Nyawa, Jika Hukum Diam
Kemarahan Cristian bukan ancaman kosong. Dalam keterpurukan, ia menyatakan siap membawa kasus ini hingga ke ranah hak asasi manusia. Bahkan, bila hukum tak berpihak padanya, ia akan bertindak sendiri.
“Kalau tidak ada keadilan, saya akan gali kembali kuburan anak saya dan bawa ke orang-orang yang paling bertanggung jawab,” tegasnya dengan suara bergetar.
Ucapannya menusuk. Bukan hanya sebagai bentuk protes, tapi sebagai teriakan seorang ayah yang kehilangan anak karena sistem yang seharusnya melindungi, justru membungkam penderitaan.
Masih Banyak Tanya, Masih Tertutup Keadilan
Hingga kini, belum ada keterangan resmi dari pihak TNI AD terkait dugaan kekerasan tersebut. Penyelidikan memang disebut sedang berlangsung, namun keluarga merasa waktu berjalan terlalu lambat. Luka batin mereka justru makin menganga seiring hari.
“Jangan ada yang ditutup-tutupi. Jangan lindungi pelaku. Kalau kalian manusia, rasakan sakitnya kehilangan anak karena penganiayaan,” ujar Cristian dengan mata tajam menatap kamera.
Satu Nama, Seribu Luka
Lucky Chepril Saputra Namo bukan sekadar nama di nisan yang baru digali. Ia adalah harapan. Seorang anak muda yang memilih jalan pengabdian lewat militer, dengan impian sederhana: membanggakan orangtua, mengabdi untuk negara. Tapi semuanya kini sirna, hanya karena kekerasan yang tak pernah semestinya ada di barak yang seharusnya menjadi rumah kedua.