Waka Pendam IX/Udayana, Letkol Inf. Amir Syarifudin (foto Antara)
Denpasar, DM – Amarah dan kekecewaan jelas terpancar dari Pangdam IX/Udayana, Mayjen TNI Piek Budyakto, saat mendengar kabar kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo. Prajurit muda itu baru dua bulan mengabdi, namun pulang ke rumah dalam peti jenazah.
Bagi Pangdam, ini bukan sekadar kasus kematian. Ini adalah tamparan keras yang mencoreng wajah institusi. “Segera respon. Saya minta investigasi dilakukan transparan dan profesional,” tegasnya, memastikan tidak ada satupun pihak yang bermain-main dengan kebenaran.
Melalui Waka Pendam IX/Udayana, Letkol Inf. Amir Syarifudin, Pangdam memerintahkan tim dari Subdenpom Kupang dan Intelijen untuk bekerja cepat. “Kami belum bisa menjawab penyebab kejadiannya. Bisa karena penganiayaan, bisa karena cedera lain. Semua masih diselidiki,” kata Amir, mengutip arahan Pangdam.
Namun, di balik proses penyelidikan, Mayjen Piek menegaskan pesan yang jauh lebih dalam—sebuah peringatan keras kepada seluruh jajaran. “Tidak boleh lagi ada kekerasan. Di era digital seperti sekarang, yang dibutuhkan adalah meningkatkan kualitas SDM. Kurangi kontak fisik, kedepankan humanisme,” ujarnya lantang.
Kasus ini mencuat setelah Prada Lucky, anggota Batalyon Teritorial Pembangunan 834 Waka Nga Mere (Yon TP 834/WM) di Kabupaten Nagekeo, NTT, dilaporkan meninggal pada Rabu (6/8/2025) pukul 10.30 WITA, setelah empat hari dirawat intensif di RSU Aeramo. Dugaan sementara, ia menjadi korban penganiayaan seniornya.
Bagi Pangdam, satu kematian prajurit muda adalah satu kehilangan yang tak bisa dibayar. “Saya ingin ini jadi pembelajaran. Tidak ada tempat bagi kekerasan di tubuh TNI. Kemanusiaan adalah pondasi, bukan intimidasi,” pesannya.
Kini, investigasi berjalan, dan mata publik tertuju pada janji Pangdam—bahwa keadilan untuk Prada Lucky akan ditegakkan setransparan mungkin.