TIDORE, DM – Suasana Stadion Sangaji Jiko Malofo, Kelurahan Mareku, Jumat malam (15/8/2025) tampak berbeda. Sorot lampu, deretan stan UMKM, lantunan musik tradisional, hingga derai tawa warga yang memenuhi arena menandai dimulainya Festival Djuanga Vol. 3. Namun lebih dari sekadar pesta budaya, festival ini adalah cara masyarakat Mareku menjaga ingatan kolektif tentang sejarah, tentang darah dan keberanian leluhur yang menegakkan merah putih di tanah Tidore.
Festival Djuanga bukan sekadar agenda tahunan. Ia adalah “napas” yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Wali Kota Tidore Kepulauan, Muhammad Sinen, yang membuka secara resmi rangkaian kegiatan, mengingatkan bahwa di balik gegap gempita festival, tersimpan nilai historis yang tak ternilai.
“Gagah dan beraninya para leluhur, seperti almarhumah Aminah Sabtu dan almarhum Abdullah Kadir bersama kawan-kawan, yang pertama kali mengibarkan merah putih di Tanjung Mafutabe, adalah bukti cinta mereka pada NKRI. Itu harus jadi penyemangat generasi sekarang,” kata Sinen penuh haru.
Menghidupkan Sejarah, Menyalakan Nasionalisme
Festival yang berlangsung 14–18 Agustus ini menghadirkan ragam kegiatan: ziarah kubur, towaro, tawaf kampung, hingga perlombaan tradisional. Namun puncaknya tetap pada upacara pengibaran bendera merah putih di Tanjung Mafutabe, 18 Agustus, mengenang momen bersejarah tahun 1946, saat untuk pertama kalinya merah putih berkibar di kawasan timur Indonesia.
Bagi warga Mareku, peristiwa itu bukan sekadar catatan buku sejarah, melainkan warisan hidup. Panitia festival, Saiful, menegaskan bahwa budaya dan sejarah adalah cermin bangsa.
“Budaya dan sejarah bukan benda mati, ia adalah napas kehidupan. Jika kita menjaganya, maka kita akan berdiri tegak di hadapan dunia,” ujarnya.
Kata-kata itu menyiratkan pesan mendalam: modernitas boleh terus melaju, tapi identitas tak boleh hilang.
Tidore dalam Panggung NKRI
Muhammad Sinen kembali mengingatkan, bahwa kontribusi Tidore pada republik ini bukan perkara kecil. “Indonesia tanpa Tidore tidak akan ada Sabang sampai Merauke,” tegasnya. Pernyataan itu menegaskan peran Tidore yang kerap terlupakan dalam narasi besar kemerdekaan Indonesia.
Festival Djuanga pun menjadi ruang untuk mengulang pesan itu, bahwa darah para pejuang dari Mareku juga ikut menorehkan merah putih di langit republik.
Dari Mareku untuk Dunia
Malam pembukaan Festival Djuanga Vol. 3 ditutup dengan pemutaran jejak digital penobatan Sangaji Jiko Malofo, disusul peninjauan stan UMKM yang menampilkan produk khas masyarakat. Anak-anak muda sibuk mendokumentasikan acara, para orang tua bercengkerama sambil mengenang masa silam, dan wisatawan lokal larut dalam suasana hangat nan heroik.
Festival ini bukan hanya pesta rakyat, melainkan pesan untuk dunia bahwa masyarakat kecil di sudut timur Nusantara mampu menjaga api sejarah agar tetap menyala. Api itu diwariskan dari leluhur untuk generasi kini, agar nasionalisme tak lekang oleh zaman. (Arf)