Menu

Mode Gelap
STQ 2023, Haltim Ditunjuk Sebagai Tuan Rumah How To Handle Every Movie Challenge With Ease Using These Tips The Most Influential People in the Green House Industry and Their Celebrity Dopplegangers Technology Awards: 6 Reasons Why They Don’t Work & What You Can Do About It

Cerpen · 5 Agu 2025 10:41 WIB ·

Tete Ali Bukan Boneka: Ketika Nurani Mati, Tawa Jadi Alat Penyiksaan


 Tete Ali Bukan Boneka: Ketika Nurani Mati, Tawa Jadi Alat Penyiksaan Perbesar

Oleh: Arief Paturusi
Jurnalis Jalanan

Kita tidak sedang lucu. Kita sedang kejam.

Tete Ali.
Seorang lelaki tua berusia lebih dari 80 tahun. Di usia itu, seharusnya ia duduk tenang di teras rumah, menyeruput kopi, dihormati oleh generasi muda, dihargai karena usia dan pengalaman panjang yang telah ia lewati.

Tapi kenyataan hari ini begitu tragis. Beliau tidak diperlakukan seperti orang tua, tidak diposisikan sebagai sesepuh. Beliau diperlakukan seperti badut digital.

Dipaksa tampil. Dipancing marah. Direkam. Disebar. Ditertawakan.

Semua dimulai dari fitnah-fitnah murahan:

Katanya minjam uang tapi tak bayar. Katanya berbohong demi kesenangan. Bahkan dituding menghamili istri orang lalu lari.

Tuduhan keji itu bukan untuk dibuktikan. Tapi hanya untuk satu hal—membuat beliau meledak dalam kemarahan.
Dan ketika itu terjadi, ketika mulutnya memaki, ketika emosinya tak terkendali, tangan-tangan kita sibuk merekam. Mata kita memicing karena tertawa. Jari kita sibuk membagikan. Dan hati kita? Mati.

Siapa yang Sebenarnya Layak Ditertawakan?
Masyarakat menonton Tete Ali bukan dengan rasa iba, melainkan sebagai hiburan. Cacian beliau yang dipancing dengan cara-cara keji, justru dianggap lucu dan jadi tren di kalangan anak-anak.

Anak-anak mulai meniru.
Mereka tiru kata-kata kotor yang bahkan Tete Ali sendiri tak tahu bahwa itu kini telah meracuni generasi penerus.

Tete Ali yang seharusnya dilindungi, kini malah dijadikan sumber virus moral—tanpa sadar, oleh kita semua. Dan anehnya, banyak yang bangga menjadi pelaku,

merasa “garap” (lucu), karena berhasil membuat seorang kakek kehilangan kendali dan jadi bahan tawa massal.

Ada yang menyebut itu “konten”. Ada yang menyebut itu “hiburan rakyat”.

Padahal itu penyiksaan mental terhadap seorang manusia.

Tete Ali Bukan Komedian. Tete Ali Bukan Boneka. Tete Ali Adalah Korban. Korban dari zaman yang kehilangan rasa hormat terhadap orang tua.

Korban dari masyarakat yang menukar nilai-nilai kemanusiaan dengan view dan share.

Korban dari dunia yang menganggap makian seorang lansia sebagai lelucon, bukan peringatan akan hancurnya adab.

Apa jadinya negeri ini jika orang tua dijadikan bahan candaan, lalu dipanggil ‘Sufi’ hanya karena bisa dimanfaatkan sebagai sensasi?

Tidak.
Tete Ali bukan Sufi.
Beliau bukan filsuf.
Beliau bukan badut yang bersedia jadi viral.

Beliau adalah manusia yang sudah terlalu tua untuk dipermainkan.

Ini Bukan Lucu. Ini Kejam. Ini Menjijikkan.
Di negeri yang konon menjunjung nilai adat dan budaya, bagaimana mungkin kita membiarkan seorang lelaki tua jadi bahan olok-olokan terorganisir?

Bagaimana bisa kita dengan bangga menertawai beliau—padahal yang terjadi adalah pelecehan kemanusiaan secara telanjang?

Hari ini Tete Ali menjadi korban.
Besok bisa saja ayah kita, ibu kita, guru kita—atau bahkan diri kita sendiri.
Dan ketika dunia sudah tidak bisa membedakan mana lucu dan mana zalim, itulah saatnya kita tahu bahwa kita telah gagal menjadi manusia.

Kembalilah Jadi Manusia

Berhenti memaklumi kekerasan emosional sebagai hiburan.
Berhenti menertawakan penderitaan orang lain.
Berhenti menjadikan lansia sebagai komoditas digital.

Tete Ali bukan boneka.
Tete Ali bukan hiburan.
Tete Ali adalah wajah kegagalan kita menjaga marwah orang tua.

“Kasiang Tete Ali…”

Kalimat itu seharusnya membuatmu menunduk, bukan tertawa. Seharusnya membuatmu menangis, bukan meniru. Karena bila hari ini kita membiarkan ini terjadi,

maka besok tak ada lagi yang bisa kita lindungi—bahkan harga diri sendiri.

Artikel ini telah dibaca 300 kali

Baca Lainnya

HIPMI Malut: Antara Status Quo, Minim Inovasi, dan Jalan Terjal Regenerasi

23 Agustus 2025 - 10:52 WIB

KAHMI dan Nafas Konsolidasi dari Timur Indonesia

23 Agustus 2025 - 09:06 WIB

“Ketika Keadilan Menemukan Wajahnya: Mengenang Frank Caprio, Hakim Berhati Nurani yang Dirindukan Negeri Ini”

21 Agustus 2025 - 11:57 WIB

Golden Bakery: Toko Roti yang Harus Pergi

29 Juli 2025 - 13:56 WIB

“Dari Tambang ke Hati Rakyat: Haji Romo Nitiyudo Wachjo dan Warisan Kedermawanan”

24 Februari 2025 - 09:48 WIB

Haji Romo Nitiyudo Wachjo

Dari Tambang Emas untuk Menyelamatkan Nyawa

28 Januari 2025 - 07:49 WIB

Trending di Cerpen